Senin, 24 Oktober 2011

Kisah Keluarga dengan Anak Autis

| |

HARAPAN Tiara Basuki, warga Rungkut Harapan, tidak beda dengan harapan banyak orang tua tentang anak laki-lakinya: normal, ganteng, pinter, ceria, dan kalau bisa kelak menjadi pembesar negeri.

Namun, wanita 35 tahun tersebut merasakan hatinya seperti digodam ketika mengetahui bocah laki satu-satunya menyandang autis. ''Rasanya seperti mau menangis, mau menjerit,'' kenang wanita yang bekerja sebagai karyawati di koperasi karyawan PDAM tersebut.

Sebenarnya, tanda-tanda Dipa Aulya Urrochman -nama anaknya- autis sudah terlihat sejak kecil. Tidak pernah fokus, tidak pernah mau melakukan kontak mata, dan selalu mengalami distraksi (gangguan bila ada suasana baru). ''Bila titi (panggilan untuk nenek, Red)-nya mengganti sarung bantal, Dipa langsung nangis geru-geru,'' tambahnya.

Tiara terus melakukan denial (pengingkaran). Dia menganggap anaknya sekadar belum mau konsentrasi. Kalaupun belum bisa ngomong hingga usia tiga tahun, itu hanya sedikit terlambat. Pun ketika suaminya, Agus Selamat, mengatakan kepadanya. ''Anakmu ini kayaknya autis,'' kata Agus seperti yang ditirukan Tiara. Alih-alih memperhatikan saran suaminya, Tiara justru bertengkar. Tiara berpendapat tidak mungkin anaknya menyandang itu.

Namun, Tiara tidak bisa selamanya melakukan denial. Perlahan-lahan, dia mengamati anaknya. Kemudian, dia berkonsultasi dengan sejumlah teman dan dokter. Hasilnya, memang buah hatinya tersebut mengalami autis. Dari pemeriksaan diketahui bahwa gangguan autisme Dipa termasuk gangguan regresif. ''Penyebabnya keracunan timbal dan gangguan sistem kekebalan tubuh karena vaksinasi dan infeksi usus,'' terangnya.

Begitu lemas Tiara tatkala mendengar vonis itu. Namun, dia tidak mau menyerah. Pada 2006, saat usia Dipa tiga tahun, Tiara membawanya ke sebuah tempat terapi autis di kawasan Ngagel. Selama lima bulan pertama, Dipa hanya diajari duduk bersila. ''Mendengar jeritan dan tangisnya, tangan saya sampai gemetar,'' kata Indrawati, nenek Dipa. Tiara memang tinggal bersama orang tuanya di kawasan Rungkut Harapan. Karena Tiara harus bekerja, yang mengantar Dipa sehari-hari memang Indrawati. Keputusan itu tepat. Sebab, bila di atas usia lima tahun, seorang bocah autis relatif sangat sulit diterapi.

Terapi di tempat itu memang berhasil. Namun, yang lebih menentukan dalam keberhasilan terapi Dipa adalah keluarga Tiara sendiri. ''Memang terapi di tempat itu bisa membentuk dasar-dasar agar Dipa lebih mudah menerima rangsang pembelajaran,'' papar Tiara. Namun, sekali lagi, Tiara mengatakan yang terpenting adalah bagaimana keluarga men-treatment Dipa.

Untuk itu, baik Tiara, Agus, maupun Indrawati mempelajari autisme. Meramunya, kemudian mengembangkan metode sendiri untuk menerapi Dipa. Misalnya, bila para dokter mengatakan jangan pernah mendekatkan anak autis dengan televisi, keluarga Tiara justru malah mendekatkannya. ''Tinggal mengatur programnya. Buktinya, dia bisa berhitung dalam bahasa Inggris one sampai twenty tanpa cela itu juga dari televisi,'' papar Indrawati.

Tentu tidak mudah menerapinya. Misalnya, soal mengubah rutinitas Dipa ke arah yang baik. Anak autis memang relatif mempunyai jam biologis sendiri dalam diri dan dunianya. Dulu Dipa mempunyai kebiasaan tidur awal, bangun pukul 23.00, dan baru tidur lagi pukul 04.00. ''Itu pun harus minta digendong terus. Sampe dadi kurus aku,'' cetus Indrawati.

Keluarga pun mengubah kebiasaan Dipa agar tidur pukul 20.00 dan bangun di pagi hari. ''Sangat lama sekali mengubah kebiasaan itu. Sebulan pertama lebih banyak sambil nangisnya. Tapi, sekarang, meski tengah melihat televisi sendiri, begitu pukul 20.00, dia mematikan tivi-nya sendiri dan langsung tidur,'' tuturnya.

Untuk melatih sensor motorik halus (Dipa sulit untuk menggenggam), Tiara membelikannya mainan lego. Hasilnya luar biasa. Bukan saja kini sensor motorik halus Dipa jadi bagus, tapi juga melatih inteligensinya. Sekarang ini, Dipa bisa membuat helikopter mini besar dari tumpukan lego dengan imajinasi yang sulit dibayangkan. Pernah, kepada Dipa diperlihatkan mug besar. Dia memperhatikannya sejenak. Lantas, tidak sampai satu jam sudah terbentuk mug besar dengan bentuk serupa dari lego. ''Pemasangannya pun kukuh,'' kata Tiara, bangga.

Menariknya, cara penyusunannya pun berbeda daripada lazimnya. Gelas, misalnya. Bila orang lain membuat mug dari lego itu mulai dari bagian bawah, Dipa memilih untuk membuatnya dari atas. Begitu pula soal helikopter. ''Semacam dibalik begitu proses membuatnya,'' terangnya.

Berkomunikasi pun juga sudah bagus. Ketika Jawa Pos mencoba dialog, jawabannya pun sudah nyambung dan cukup mengesankan. Hanya suaranya masih agak pelo. Yang terpenting adalah kemampuan akademiknya. Dalam usia enam tahun, Dipa kini sudah kelas satu SD dan meraih juara satu di sebuah SD swasta di kawasan Ngagel. Membaca juga sudah lancar. Matematika cukup jago. Kini Dipa bahkan sudah mengenal komputer. Untuk membuka aplikasi sederhana seperti microsoft paint dan menjalankannya, Dipa sudah amat lancar. Praktis, kecuali cara ngomongnya saja, Dipa kini tidak beda dengan anak-anak normal lainnya, bahkan lebih cerdas.

''Sangat berbeda tiga atau empat tahun lalu. Dulu, dia tidak bisa ngomong, tidak pernah fokus. Saya sampai sedih,'' tutur Tiara. Pernah, suatu ketika Tiara menjenguk saudaranya yang sakit dengan membawa Dipa. Sang bocah kemudian diajaknya bermain di Kid's playground rumah sakit itu. Karena memang autis, Dipa berteriak-teriak dan melempar-lempar. Apalagi paras Dipa khas paras anak autis, yakni ekspresinya datar. Bocah-bocah di situ kemudian menjauhinya sambil meneriakinya "anak gila, anak gila". ''Melihat itu, saya langsung nelangsa. Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, saya terus menangis,'' tambahnya.

Namun, dengan segala perkembangan kemajuan Dipa yang relatif cepat, Tiara kini bisa berbangga lagi. ''Lihat, sekarang sudah pandai dan tidak ketinggalan. Padahal, tiga tahun lalu, saya tidak bisa membayangkan besarnya nanti seperti apa Dipa,'' ungkap Tiara, kemudian melirik sayang kepada Dipa. Harapan Tiara tentang anaknya kini sama dengan harapan banyak orang tua tentang anak laki-lakinya: ganteng, pinter, ceria, dan kalau bisa kelak menjadi pembesar negeri.
(*/dos)

Sumber: Jawapos.co.id

0 komentar:

go-top

Posting Komentar

Let me say this, for one last time

My Playlist

Blogroll


ShoutMix chat widget

Ads

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Blogger news

cursor

NP = Superman is dead - Ladyrose

Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

About Me

Foto Saya
Chazharra`s Blog
awalnya,alasan saya membuat blog ini adalah tugas dari sekolah..tapi lama kelamaan saya mulai tertarik untuk mengembangkannya..walaupun saya hanya tau dasar-dasarnya mengotak atik blog ini..
Lihat profil lengkapku

Followers

About Me

Foto Saya
Chazharra`s Blog
awalnya,alasan saya membuat blog ini adalah tugas dari sekolah..tapi lama kelamaan saya mulai tertarik untuk mengembangkannya..walaupun saya hanya tau dasar-dasarnya mengotak atik blog ini..
Lihat profil lengkapku

Followers

 
 

Chazharra`s Blog | Diseñado por: Compartidísimo
Con imágenes de: Scrappingmar©

 
top